Sabtu, 31 Maret 2012

Analisis Peserta Didik (Kepribadian)


Tugas Presentasi Kelompok Mata Kuliah Analisis Peserta Didik







KEPRIBADIAN


Kelompok IV :

Dara Zarbiah                    1215106082
Dede Rohendi N              1215105010
Laila Adila                         1215081071
Rizka Anggraini                1215081053
Tinnu Dwiseptyanie        1215081046


TEKNOLOGI PENDIDIKAN
KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2012


A.   TUJUAN
a.      Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti presentasi mahasiswa mampu mendekripsikan kepribadian peserta didik.

b.      Tujuan Pembelajaran Khusus
·      Mahasiswa mampu menjelaskan definisi kepribadian
·      Mahasiswa mampu membedakan tipe kepribadian
·      Mahasiswa mampu menjabarkan struktur kepribadian
·      Mahasiswa mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian peserta didik

B.    DESKRIPSI MATERI
a.      Materi pokok
Kepribadian

b.      Sub materi pokok
·      Definisi Kepribadian
·      Struktur kepribadian
·      Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian

C.    URAIAN

PENDAHULUAN
Kepribadian adalah bagian dari diri manusia yang sangat unik dimana kita memiliki kecenderungan yang cukup besar untuk merespon segala sesuatu. inilah dasar dari pembentukan karakter seorang anak.  Dengan memahami kepribadian anak berarti kita telah menyingkat waktu kita untuk menebak-nebak, berusaha mengerti dan memahami anak, kita bisa jauh lebih mudah untuk memahami seseorang anak dengan memperhatikan tipologi kepribadiannya.
Para ahli psikologi pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kepribadian itu bukan hanya mengenai tingkah laku yang dapat diamati saja, melainkan juga termasuk di dalamnya apakah sebenarnya individu itu. Oleh karena itu, sebelum diuraikan lebih lanjut mengenai kepribadian itu, ada baiknya diuraikan lebih dahulu beberapa pengertian yang sangat erat hubungannya dengan masalah kepribadian seperti individualitas (individuality), tempramen, dan karakter (character).
1.      Individualitas
Istilah individualitas dipakai untuk menunjukkan wujud diri sendiri dan sifat otonom serta sifat unik tiap-tiap pribadi manusia. Namun, sifat otonom dan unik ini bukanlah menjadi persoalan pokok dalam penyidikan psikologi, meskipun di lain pihak ada uga ahli yang mengkhususkan penyelidikannya pada hal tersebut, yaitu psychological individuality (psikologi individu).
Obyek psikologi individu ini ialah susunan yang kompleks dari kebiasaan dan pikiran serta ekspresi yang khusus pada individu, seperti sikap, sifat, dan filsafat hidup. Sedangkan hal yang sangat menarik bagi para ahli psikologi ialah kesulurahan psycho-physical-individuality. Dan, semuanya itu sudah tercakup dalam pengertian kepribadian itu.

2.      Tempramen
Tempramen adalah sifat-sifat jiwa yang erat hubungannya dengan konstitusi tubuh. Yang dimaksud dengan konstitusi tubuh disini ialah keadaan jasmani seseorang yang terlihat dalam hal-hal yang khas baginya, seperti keadaan darah, pekerjaan kelenjar, pencernaan, pusat saraf, dan lain-lain (Ngalim Purwanto, 1984: 114)
Tempramen juga diartikan sebagai disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.

3.      Karakter
Istilah karakter ini sering dipersamakan dengan istilah kepribadian. Karakter hanya mengenai beberapa fase khusus dari kepribadian, sedangkan kepribadian adalah keseluruhan sifat dan seluruh fase dari pribadi manusia. Karakter dapat diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang tampak dalam tingkah laku dan perbuatan sebagai akibat pengaruh pembawaan dan lingkungan. Dengan kata lain, karakter tergantung pada kekuatan dari luar (eksogen).

4.      Pembagian Tipe Kepribadian
Menurut Buku Personality Plus karangan Florence Littauer ada beberapa sifat atau karakter manusia. Menurut Littauer, sifat dan watak manusia itu ada empat macam antara lain: Pertama, Koleris (ingin tampil ke depan, bersifat keras layaknya komandan tempur). Kedua, sanguin (periang, hampir tak pernah kelihatan susah namun pelupa dan selalu ingin mendapat perhatian orang lain). Ketiga, melankolis (serius, sistematis dan selalu memikirkan sebuah tindakan masak-masak sebelum melakukannya). Keempat, plegmatis (pasrah, tidak suka bertengkar dan nurut saja mana yang paling mudah).




Berikut cara sederhana memahami keempat watak dasar manusia itu :
§         KOLERIS
Kalau menyelesaikan suatu pekerjaan maka seorang Koleris akan menyelesaikannya dengan caranya sendiri (My Way). Dia sungguh kreatif, bahkan kalau ada manual sekalipun maka dia tidak suka menuruti manual tersebut. Pokoknya si koleris akan berusaha menyelesaikan pekerjaan itu sampai tuntas. Syaratnya harus dengan cara yang diyakini olehnya benar bukan dengan cara orang lain. Hambatan apapun akan diterjangnya guna mencapai tujuan. Koleris ini juga senang mengatur orang lain akan tetapi dia sendiri tidak suka kalau dipaksa-paksa untuk melakukan sesuatu.



§         SANGUIN
Bagaimana seorang Sanguin harus menyelesaikan pekerjaannya ? Ini susahnya. Orang Sanguin ini orangnya gampangan. Cara dia menyelesaikan pekerjaannya adalah dengan cara yang dianggapnya paling menyenangkan(Fun Away). Bagi dia kalau pekerjaan itu menyenangkan baginya maka dia bisa-bisa tidak ingat waktu. Sayangnya, sang Sanguin ini terkesan bertele-tele karena ingin selalu mencari celah-celah pekerjaan yang bagi dia bisa menimbulkan kegembiraan. Si Sanguin ini juga suka menunda-nunda pekerjaan bahkan kerap melupakan apa yang sudah dikerjakannya. Dia bekerja tanpa rencana dan cenderung menganggap remeh apapun yang dilakukannya. Sikapnya cenderung seenaknya. Kalau ada keramaian maka orang Sanguinselalu tampil paling menonjol, entah dari segi pakaiannya, teriakannya yang menarik perhatian orang atau tingkah lakunya yang nyentrik. Si sanguin ini bisa diibaratkan seorang anak yang terkurung dalam tubuh orang dewasa. Awet muda dan senang bermain-main.



§         MELANKOLIS
Cairan yang lebih dominan dalam tubuh yaitu cairan melanchole. Nah ini dia tipe pekerja teratur. Senangnya rapi dan sistematis. Dalam menyelesaikan pekerjaan maka seorang yang berwatak melankolis akan memilih cara terbaik (best way), bagaimanapun caranya. Kalau ada manualnya maka dia akan mengikuti manual itu 100 % benar. Dia bekerja sangat tekun dan serius, dan selalu menuntut hal yang sama terhadap teman-temannya. Kalau ada yang melenceng sedikit dari kemauannya maka dia akan murung dan muram sepanjang hari. Orang Melankolis ini cepat sekali tersentuh perasaannya. Hidupnya teratur dan kalau berpakaian selalu selalu rapi dan charming.



§         PLEGMATIS
Cairan yang lebih dominan dalam tubuh yaitu cairan phlegma. Nah ini dia manusia yang paling menyenangkan bagi semua orang. Orang plegmatis ini nyaris tidak pernah marah. Senyumnya tulus. Hanya saja seperti orang yang tidak punya ambisi. Orangnya damai, dan tidak suka bertengkar. Dia juga pemalu dan cenderung tidak ingin menonjol di keramaian. Seorang plegmatis akan menerima pendapat orang lain apapun itu, meski belum tentu dia mengerjakannya. Kalau melakukan pekerjaan maka orang plegmatis akan melakukannya dengan cara yang paling mudah (easy way). Kadang-kadang dengan menempuh jalan pintas.



PEMBAHASAN

I.      Pengertian
a.    Pengertian kepribadian (personality) secara etimologis
Dari sudut historis etimologis, personality dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin persona, yang berarti mengeluarkan suara (to sound through). Pada mulanya istilah persona ini digunakan untuk menunjukan suara dari seorang pemain sandiwara melalui topeng yang dipakainya di mana suara pemain itu diproyeksikan.
Lambat laun istilah persona ini berubah menjadi istilah yang mengacu kepada gambaran sosial tertentu yang diterima oleh individu dari kelompok atau masyarakatnya. Dari sejarah individu diatas, istilah persona yang mula-mula topeng itu kemudian diartikan dan menunjukan pengertian dari kualitas karakter atau watak yang dimainkan dalam sandiwara itu. Kini, istilah personality oleh para ahli psikologi dipakai untuk menunjukan sesuatu yang nyata dan dapat dipercaya tentang individu, dan untuk menggambarkan bagaimana dan apa sebenarnya individu itu.
Sartain, psikolog Amerika Serikat, mengemukakan bahwa istilah personality utamanya menunjukan suatu organisasi dari sifat-sifat dan aspek-aspek tingkah laku lainnya yang saling berhubungan di dalam suatu individu (Sartain, 1959: 133-134).
Sebenarnya manusia sendiri sangat kesulitan untuk memahami arti dan hakikatnya dirinya, bagaimana dan siapa gerangan dirinya itu. Dan biasanya orang lainlah yang lebih bisa mengerti diri kita daripada diri kita sendiri.

b.    Pengertian kepribadian (personality) dari sudut terminologi
Kepribadian itu mencakup berbagai aspek dari sifat-sifat fisik maupun psikis dari setiap individu. Berikut ini beberapa rumusan definisi mengenai kepribadian yang intinya memuat hal-hal  bersifat ini :
·     Bahwa kepribadian itu merupakan suatu kebulatan yang terdiri dari aspek-aspek jasmaniah dan  ruhaniah.
·     Bahwa kepribadian seorang itu bersifat dinamikdalam hubungannya dengan lingkungan.
·     Bahwa kepribadian sesorang itu adalah khas (unique), berbeda dariorang lain.
·     Bahwa kepribadian itu berkembang dengan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dan luar.

Definisi yang dikemukan Gordon W.Allport menyatakan “Personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical system, that determines his unique adjusment to this environment”. [Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang memberikan corak yang khas dalam caranya menyesuaikan diri dengan lingkungannya].
Dalam definisi tersebut, Allport menggunakan istilah sistem psikofisik untuk menunjukan jiwa dan raga. Bahasan kepribadian Allport  itu memiliki arti bahwa setiap individu memiliki kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang memiliki kepribadian yang sama, dan karena itu tidak ada dua orang yang bertingkah laku sama dalam penyesuainnya dengan lingkungan.
1.   Pendekatan tipologis
Pola kerja dalam penyusunan teori yang menggunakan pendekatan tipologis adalah berdasarkan pada sejumlah kecil kategori yang dapat membedakan ciri-ciri khas individu yang satu dengan individu yang lain dengan melakukan penggolongan (deskripsi individu menjadi beberapa tipe).
Kategori yang digunakan sebagai titik tolak penggolongan ke dalam tipe-tipe tertentu itu ada bermacam-macam, yakni keadaan jasmani (teori Kretschmer, Shalden), temperamen (teori Heymans, Kant), dan sistem teori nilai-nilai (teori Spranger).


2.   Pendekatan faktorial
Pola kerja dalam penyusunan teori yang menggunakan pendekatan faktorial ini adalah pertama-tama dibuat hipotesis bahwa ada sejumlah faktor mendasari tingkah laku individu yang banyak macamnya. Lalu dibuat spesifikasi mengenai beberapa tingkah laku yang dianggap sebagai sampel berbagai tingkah laku yang merupakan pencerminan faktor-faktor dasar kepribadian itu, dan dilakukan pegukuran terhadap beberapa tingkah laku tersebut. Adapun teori-teori yang termasuk golongan teori yang menggunakan pendekatan faktorial yakni teori Cattell, teori Guilford dan teori Eysenck.

II.    Struktur Kepribadian
Struktur kepribadian merupakan unsur-unsur atau komponen yang membentuk diri seseorang secara psikologis. Berikut ini adalah struktur kepribadian menurut para ahli :
1.    Struktur Kepribadian menurut Sigmund Freud
Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah-benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.

2.    Struktur Kepribadian menurut Erikson
Menurut Erikson, perkembangan manusia melewati suatu proses dialektik yang harus dilalui dan hasil dari proses dialektik ini adalah salah satu dari kekuatan dasar manusia yaitu harapan, kemauan, hasrat, kompetensi, cinta, perhatian, kesetiaan dan kebijaksanaan. Perjuangan diantara dua kutub ini meliputi proses di dalam diri individu (psikologis) dan proses di luar diri individu (sosial). Dengan demikian, perkembangan yang terjadi adalah suatu proses adaptasi aktif.
Erikson mengemukakan tahapan perkembangan kepribadian dengan kecenderungan yang bipolar:
·     Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust.
Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
·     Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt.
Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya. 
·     Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty.
Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
·     Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority.
Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri. 
·     Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion.
Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing anggota. 
·     Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation.
Jika pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya. 
·     Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation.
Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan. 
·     Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair.
Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.
Ericson tidak merasa bahwa semua periode yang penting dalam bertambahnya perbuatan yang disengaja dan kemampuan yang lebih tinggi terjadi pada masa kritis secara berturut-turut. Ia menegaskan bahwa perkembangan psikologi terjadi karena tahapan-tahapan kritikal. Kritikal adalah karateristik saat membuat keputusan antara kemajuan dan kemunduran. Pada situasi seperti ini bisa saja terjadi perkembangan atau kegagalan, sehingga dapat mengakibatkan masa depan yang lebih baik atau lebih buruk, tetapi sebetulnya situasi tersebut dapat disusunkembali. Ericson percaya bahwa kepribadian masih dapat dibuat dan diubah pada masa dewasa.

3.    Struktur Kepribadian menurut Gardener Murphy
Perkembangan kepribadian dalam pandangan Gardener Murphy merupakan tahap-tahap dinamis, berubah-ubah yang terdiri dari fase keseluruhan (tanpa differensiasi), kemudian fase diferensiasi dan fase integrasi yaitu fungsi yang sudah mengalami diferensiasi diitegrasikan dalam satu unit yang berkoordinasi. Fase keseluruhan merupakan watak umum yang mendominasi seperti pemarah, pemberani, semangat, penipu, pembelajar, petualang. Dalam perkembangan berikutnya terdiferensiasi misalnya pemberani yang memilki semangat pembelajar. Fase integrasi yaitu fungsi yang sudah mengalami diferensiasi diitegrasikan dalam satu unit yang berkoordinasi biasanya di atas 40 tahun kepribadiannya menjadi mantap dan cenderung menetap.

III.  Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepribadian
1.    Faktor Keturunan
Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu.
Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang. Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen anak-anak. Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir. Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi.
Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor keturunan. Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan. Temuan ini mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.
Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100 pasangan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir dan dibesarkan secara terpisah. Ternyata peneliti menemukan kesamaan untuk hampir setiap ciri perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di antara anak-anak kembar ternyata terkait dengan faktor genetis. Penelitian ini juga memberi kesan bahwa lingkungan pengasuhan tidak begitu memengaruhi perkembangan kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang kembar identik yang dibesarkan di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan saudara-saudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama.

2.    Faktor sosial
Faktor sosial yang dimaksud disini adalah masyarakat di sekitar individu yang mempengaruhi individu tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial ini adalah tradisi-tradisi, adat istiadat, dan peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat.
Pengaruh lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak kecil sangat mendalam dan menentukan perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Hal ini disebabkan karena (Ahmad Musa, 1969:94):
a.         Pengaruh itu merupakan pengalaman yang pertama-tama.
b.         Pengaruh yang diterima anak itu masih terbatas jumlah dan luasnya.
c.         Intensitas pengaruh itu tinggi karena berlangsung terus-menerus siang dan malam.
d.         Umumnya pengaruh itu diterima dalam suasana aman dan bersifat intim dan bernada emosional.

Pada masa selanjutnya, pengaruh lingkungan sosial yang diterima anak semakin besar dan luas, mulai dari lingkungan keluarga meluas pada anggota-anggota keluarga yang lain, teman-teman yang datang ke rumahnya, teman-teman sepermainan, tetangga-tetangganya, lingkungan desa-kota, hingga pengaruh yang khusus dari lingkungan sekolahnya mulai dari guru-gurunya, teman-temannya, kurikulum sekolah, peraturan-peraturan yang berlaku disekolah, dan sebagainya.
Demikian pengaruh faktor sosial terhadap perkembangan dan pertumbuhan kepribadian yang diterima dan individu (manusia) dalam hidup dan kehidupannya sehari-hari, sejak kecil sampai dewasa.



3.    Faktor kebudayaan
Faktor kebudayaan yang dimaksud disini adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebenarnya faktor kebudayaan ini sudah termasuk dalam faktor sosial seperti yang telah diuraikan di atas. Namun di sini kita hendak membicarakan kebudayaan dalam scope yang lebih luas, lengkap dengan aspek-aspeknya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa perkembangan dan pembentukan kepribadian pada masing-masing individu tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana individu itu berada dan dibesarkan. Sering dikatakan bahwa kebudayaan orang Barat berbeda dengan kebudayaan orang Timur.
Adapun beberapa aspek kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian itu, antara lain:
a.         Nilai-nilai (values)
Pada setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh individu yang hidup dalam kebudayaan itu. Menaati nilai-nilai yang hidup dalam kebudayaan itu menjadi idaman dan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat kebudayaan tersebut. Dan, untuk bisa diterima sebagai anggota suatu masyarakat.
Sementara itu, nilai-nilai hidup yang berlaku dalam masyarakat sangat erat hubungannya dengan kepercayaan, agama, adat istiadat, kebiasaan dan tradisi yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.

b.         Pengetahuan dan ketrampilan
Pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu juga mempengaruhi sikap dan tindakannya. Sedang pengetahuan yang dimiliki oleh individu tidaklah sama kadar tinggi dan luasnya antara individu yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula jenis pengetahuan yang dimiliki tidaklah sama. Ada yang ahli di bidang ekonomi, di bidang kedokteran, di bidang teknik, di bidang pertanian/peternakan, dan sebagainya. Semuanya ini membentuk kepribadian yang berbeda-beda pada setiap individu.

c.         Adat dan tradisi
Sebagaimana dimaklumi adat istiadat (tradisi) suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan-perbedaan ini meliputi berbagai masalah. Dalam hal perkawinan, model rumah, upacara agama, kepercayaan, dan sebagainya hampir setiap daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri.
Semua adat dan tradisi yang berlaku di suatu daerah tersebut, selain menentukan nilai-nilai yang harus ditaati oleh anggota-anggotanya, juga menentukan cara-cara bertindak dan bertingkah laku manusia-manusianya.

d.         Bahasa
Bahasa merupakan salah satu faktor yang ikut serta menentukan karakteristik suatu kebudayaan. Bahasa mempunyai hubungan yang erat dengan kepribadian manusia yang menggunakan dan memiliki bahasa itu. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi antarindividu.
Dengan demikian, bagaimana sikap dan cara-cara bertindak seseorang, bagaimana pergaulan hidup bermasyarakatnya, dan sebagainya, sebagian besar dipengaruhi oleh bahasa yang berlaku dalam masyarakat itu.

KESIMPULAN
Kepribadian adalah bagian dari diri manusia yang sangat unik dimana kita memiliki kecenderungan yang cukup besar untuk merespon segala sesuatu. inilah dasar dari pembentukan karakter seorang peserta didik.  Dengan memahami kepribadian peserta didik berarti kita telah menyingkat waktu kita untuk menebak-nebak, berusaha mengerti dan memahami seorang peserta didik , kita bisa jauh lebih mudah untuk memahami seseorang seorang peserta didik dengan memperhatikan tipologi kepribadiannya.
Uraian dari pembahasan mengenai kepribadian diatas telah menunjukkan betapa erat hubungan antara kepribadian dengan keturunan, kebudayaan, dan sosial di mana kepribadian seseorang seorang peserta didik tidak dapat dinilai tanpa menyelidiki latar belakang keturunan, kebudayaan dan sosialnya. Demikian pula sebaliknya, pengaruh keturunan, kebudayaan dan sosial terhadap kepribadian adalah sangat besar.
Akhirnya, berbahagialah orang-orang yang mampu mengerti diri sendiri, dan dapat mengerti orang lain. Dan, akan lebih berbahagia lagi orang yang mengerti dan menghargai orang lain.





DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, Drs. 2010. Psikologi Pendidikan. Ar-ruzz Media: Jogjakarta

Filsafat Ilmu (Objek Material dan Objek Formal)

A.    Pendahuluan
Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dengan istilah falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan. Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras (582-496 SM). Arti filsafat pada saat itu belum begitu jelas, kemudian pengertian filsafat itu diperjelas seperti yang banyak dipakai sekarang ini dan juga digunakan oleh Socrates (470-399 SM) dan para filsuf lainnya. (Lasiyo dan Yuwono, 1985, hlm. 1).
Menurut Plato filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli. Sedangkan menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan)yang meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan).

B.  Objek Filsafat
Objek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek, yang dibedakan menjadi duan,yaitu objek material dan objek formal.
1.    Objek Material filsafat
Objek material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek material juga adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret ataupun hal yang abstrak.
Objek material dari filsafat ada beberapa istilah dari para cendikiawan, namun semua itu sebenarnya tidak ada yang bertentangan.
1.       Mohammad Noor Syam berpendapat, ’Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat itu dibedakan atas objek material atau objek materiil filsafat; segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik materiil konkret, psikis maupun nonmateriil abstrak, psikis. Termasuk pula pengertian abstrak-logis, konsepsional, spiritual, dan nilai-nilai. Dengan demikian, objek filsafat tidak terbatas’. (Mohammad Noor Syam, 1981, hlm. 12)
2.     Poedjawijatna berpendapat, ’jadi, objek material filsafat ialah ada dan yang mungkin ada. Dapatkah dikatakan bahwa filsafat itu keseluruhan dari segala ilmu yang menyelidiki segala sesuatunya juga?’ Dapat dikatakan bahwa objek filsafat yang kami maksud adalah objek materialnya-sama dengan objek material dari ilmu seluruhnya. Akan tetapi, filsafat tetap filsafat dan bukan merupakan kumpulan atau keseluruhan ilmu’. (Poedjawijatna, 1980, hlm.8)
3.     H.A Dardiri berpendapat, objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan’. Kemudian, apakah gerangan segala sesuatu yang ada itu?
Segala sesuatu yang ada dapat dibagi dua, yaitu
1.       ada yang bersifat umum, dan
2.     ada yang bersifat khusus
Ilmu yang menyelidiki tentang hal ada pada umumnya disebut ontologi. Adapun ada yang bersifat khusus dibagi dua, yaitu ada yang mutlak, dan ada yang tidak mutlak. Ilmu yang menyelidiki alam disebut kosmologi dan ilmu yang menyelidiki manusia disebut antropologi metafisik. (H.A. Dardiri, 1986, hlm. 13-14)

Setelah meneropong berbagai pendapat dari para ahli diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa objek material dari filsafat sangat luas mencakup segala sesuatu yang ada.
Adapun permasalahan dalam kefilsafatan mengandungciri-ciri seperti yang dikemukakan Ali Mudhofir (1996), yaitu sebagai berikut.
a.            Bersifat sangat umum. Artinya, persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus. Sebagian besar masalah kefilsafatan ide-ide besar. Misalnya, filsafat tidak menanyakan ’’berapa harta yang Anda sedekahkan dalam satu bulan?’’ Akan tetapi, filsafat menanyakan ’’apa keadilan itu?’’
b.            Tidak menyangkut fakta disebabkan persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif. Persoalan yang dihadapi dapat melampaui pengetahuan ilmiah.
c.            Bersangkutan dengan nilai-nilai (values), artinya persoalan kefilsafatan bertalian dengan nilai, baik nilai moral, estetis, agama, dan sosial. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu kuaitas abstrak yang ada pada sesuatu hal.
d.            Bersifat kritis, artinya filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep dan arti yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh suatu ilmu tanpa pemeriksaan secara kritis.
e.            Bersifat sinoptik, artinya persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.
f.            Bersifat implikatif, artinya kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah dijawab, dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan. Jawaban yang dikemukakan mengandung akibat lebih jauh yang menyentuh berbagai kepentingan manusia.

2. Objek Formal Filsafat
    Objek formal, yaitu sudut pandangan yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Misalnya, objek materialnya adalah ’’manusia’’ dan manusia ini ditinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia diantaranya psikologi, antropologi, sosiologi, dan sebagainya.
      Objek formal filsafat, yaitu sudut pandangan yang menyeluruh, secara umum sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materialnya. (Lasiyo dan Yuwono, 1985, hlm. 6). Oleh karena itu, yang membedakan antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain terletak dalam objek material dan objek formalnya. Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek materialnya membatasi diri, sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri. Adapun pada objek formalnya membahas objek materialnya itu sampai ke hakikat atau esensi dari yang dihadapinya.

Perbedaan objek material dan objek formal filsafat ilmu
Objek material filsafat merupakan suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu atau hal yang di selidiki, di pandang atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup apa saja baik hal-hal yang konkrit ataupun yang abstrak.  Sedangkan Objek formal filsafat ilmu tidak terbatas pada apa yang mampu diindrawi saja, melainkan seluruh hakikat sesuatu baik yang nyata maupun yang abstrak.
Obyek material filsafat ilmu itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan objek formal filsafat ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. objek material mempelajari secara langsung pekerjaan akal dan mengevaluasi hasil-hasil dari objek formal ilmu itu dan mengujinya dengan realisasi praktis yang sebenarnya.  Sedangkan Obyek formal filsafat ilmu menyelidiki segala sesuatu itu guna mengerti sedalam dalamnya, atau mengerti obyek material itu secara hakiki, mengerti kodrat segala sesuatu itu secara mendalam (to know the nature of everything). Obyek formal inilah sudut pandangan yang membedakan watak filsafat dengan pengetahuan. Karena filsafat berusaha mengerti sesuatu sedalam dalamnya.
Obyek material Filsafat ilmu yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik materi konkret, psisik, maupun yang material abstrak, psikis. Termasuk pula pengertian abstrak-logis, konsepsional, spiritual, nilai-nilai. Dengan demikian obyek filsafat tak terbatas, yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Objek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain. ada yang tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran dan yang ada dalam kemungkinan.
Kesimpulan
Dari beberapa perbedaan pengertian diatas pada dasarnya kedua objek filsafat ilmu tersebut menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontoiogi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para akhli.
Filsafat ilmu berusaha mengkaji hal tersebut guna menjelaskan hakekat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri. Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran.
Tiap-tiap manusia yang mulai berfikir tentang diri sendiri dan tentang tempat-tempatnya dalam dunia akan menghadapi beberapa persoalan yang begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persoalan pokok yaitu apa dan siapakah manusia, dan apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya, dan apakah intisarinya. Sehingga menggambarkan objek filsafat itu adalah antara lain : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak), God (Tuhan).
Dapat dibayangkan betapa luas dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari substansi masalah maupun sudut pandangnya terhadap masalah, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek filsafat adalah segala sesuatu yang terwujud dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam (radikal). Dan untuk memudahkan mempelajarinya para ahli membagi objek-objek filsafat ilmu tersebut kedalam objek material dan objek formal filsafat ilmu.


SUMBER :
  1. Suhartono, Suparlan. 2004. Dasar-dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
  2. Suriasomantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  3. Mustansyir, R dan Munir M. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  4. Surajiyo. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta; PT Bumi Aksara
http://sang-pemikir.blogspot.com/2008/12/objek-material-dan-objek-formal.htm

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates